Sabtu, 16 Juni 2012


MENGINGAT MUSIBAH  DAN  KEMATIAN

Di dalam kehidupan ini ada  senang ada susah, ada duka ada suka. Jika manusia mendapat        rasa senang atau suka itu hal yang memang sangat diharapkan, tetapi apabila mendapat rasa susah atau duka itu hal yang sangat tidak diharapkan oleh pada umumnya semua manusia.
Didalam menghadapi rasa duka misalnya musibah kita melihat manusia mempunyai   sikap terbagi dua:
1.       Sikap manusia yang menerima musibah sebagai ujian keimanan atau sebagai peringatan atau sebagai  hukuman.
2.       Sikap manusia yang tidak dapat menerima musibah. Mereka menyikapi musibah yang menimpanya dengan sikap marah dan gelisah bahkan menyalahkan Allah dan menuduh Allah berbuat tidak adil kepadanya.
Kesadaran  terhadap musibah yang menimpa  akan membuat manusia berintrospeksi diri dan mengambil hikmahnya untuk masa yang akan datang. Mereka bahkan menyesali berbagai tindakan kutrang terpuji yang telah terlanjur  terjadi dan mereka berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan mereka yang menyebabkan musibah itu menimpanya, ada pula yang bernazar akan berbuat kebaikan apabila musibah itu pergi.
Terkadang manusia suka lupa dengan janjinya, manakala ia dapat musibah dengan rendahnya ia bersujud, memohon keapada Allah  dengan sungguh-sungguh untuk dilepaskan dari musibah itu. Tetapi manakala musibah itu telah pergi maka ia melupakan janjinya. Didalam al qur’an surat Az zumar ayat : 8 digambarkan  :
Yang Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; Kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdo’a (kepada Allah) Untuk menghilangkannya sebelum itu”.

Kesadaran yang seperti tersebut itu adalah kesadaran semu belaka, mereka hanya sadar pada saat tertentu, pada kejadian tetentu, setelah peristiwa itu berlalu kesadarannya ikut layu. Sebuah ibarat seperti seseorang yang sedang tidur maka akan terbangun sejenak ketika ia  digigit nyamuk atau seperti yang digambarkan dalam surat Al baqarah ayat 19-21:
Yang Artinya: “ Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena mendengar petir, sebab takut akan mati. Dan allah meliputi orang-orang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau allah menghendaki niscaya  Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Pada dasarnya semua manusia mempunyai potensi baik dan lurus (hanif) Sejak manusi masih berupa ruh tanpa jasad Allah telah mengajukan pertanyaan, Apakah Allah Tuhan mereka atau bukan? Semua ruh menjawab: “Ya kami bersaksi Engkau Tuhan kami  ”. Inilah potensi yang di telah diberikan allah kepada setiap manusia. Mereka pasti memiliki kesadaran untuk tetap mengakui Tuhan.
Pada zaman dahulu kita mengenal ada yang namanya Fir’aun, dia adalah seorang raja yang zalim  yang mengaku dirinya Tuhan dan dia baru mau mengakui adanya Tuhan ketika  ajal merenggut  nyawanya karena hendak tenggelam ke dalam lautan , terlambat sudah pengakuannya sia-sia belaka.
Manusia memang mudah sekali lupa,  tetapi kematian adalah musibah yang tidak boleh dilupakan karena mati tidak dapat dihindari oleh siapapun. Salah satu untuk mengingatkan kita selalu ingat kepada kematian adalah dengan berziarah kubur, mengunjungi orang yang sedang sakit.  Rasulullah pernah ditanya oleh sahabat, Siapakah orang yang paling pintar? Jawab Rasul: “Mereka yang memperbanyak mengingat mati dan senantiasa siap menerima mati”.
Mengingat mati tentu saja tidak cukup dengan ucapan lisan saja, yang lebih utama adalah menggerakkan hati agar selalu  menyadari bahwa kematian sewaktu-waktu akan menjemputnya. Kematian adalah suatu peristiwa yang membutuhkan persiapan yang sangat banyak.  Perlu juga direnungkan bagaimana rasanya mati dikala dalam keadaan sakaratul maut.
Imam Al Ghazali dalam bukunya menjelaskan, tatkala ruh Nabi Musa kembali kepada Allah SWT , Allah bertanya, “Wahai Musa bagaimana rasanya mati itu?”. Musa menjawab : “Aku merasa diriku seperti burung digoreng di atas wajan, tidak mati tetapi tidak lepas terbang”.  Dalam riwayat lain Musa Berkata:”Aku dapati diriku seperti kambing dikupas kulitnya hidup-hidup oleh tukang jagal”.
Maut memang merupakan peristiwa yang pedih, karena ia memisahkan manusia dengan segala yang dicintai dan yang mencintainya, akan tetapi orang yang beriman akan justru merindukan kematian yang akan mengantarkannya untuk bertemu dengan kekasih sejatinya yaitu Allah SWT.  Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang rindu kematian.  (Wallahu A’lam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar