MENGINGAT MUSIBAH DAN KEMATIAN
Di dalam kehidupan ini ada
senang ada susah, ada duka ada suka. Jika manusia mendapat rasa senang atau suka itu hal yang
memang sangat diharapkan, tetapi apabila mendapat rasa susah atau duka itu hal
yang sangat tidak diharapkan oleh pada umumnya semua manusia.
Didalam menghadapi rasa duka misalnya musibah kita melihat manusia
mempunyai sikap terbagi dua:
1.
Sikap manusia yang menerima musibah sebagai
ujian keimanan atau sebagai peringatan atau sebagai hukuman.
2.
Sikap manusia yang tidak dapat menerima musibah.
Mereka menyikapi musibah yang menimpanya dengan sikap marah dan gelisah bahkan
menyalahkan Allah dan menuduh Allah berbuat tidak adil kepadanya.
Kesadaran terhadap musibah yang
menimpa akan membuat manusia
berintrospeksi diri dan mengambil hikmahnya untuk masa yang akan datang. Mereka
bahkan menyesali berbagai tindakan kutrang terpuji yang telah terlanjur terjadi dan mereka berjanji untuk tidak
mengulangi perbuatan mereka yang menyebabkan musibah itu menimpanya, ada pula
yang bernazar akan berbuat kebaikan apabila musibah itu pergi.
Terkadang manusia suka lupa dengan janjinya, manakala ia dapat musibah
dengan rendahnya ia bersujud, memohon keapada Allah dengan sungguh-sungguh untuk dilepaskan dari
musibah itu. Tetapi manakala musibah itu telah pergi maka ia melupakan
janjinya. Didalam al qur’an surat Az zumar ayat : 8 digambarkan :
Yang Artinya:
“Dan apabila manusia ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada
Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; Kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat
kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdo’a (kepada Allah)
Untuk menghilangkannya sebelum itu”.
Kesadaran yang seperti tersebut itu adalah kesadaran semu belaka, mereka
hanya sadar pada saat tertentu, pada kejadian tetentu, setelah peristiwa itu
berlalu kesadarannya ikut layu. Sebuah ibarat seperti seseorang yang sedang
tidur maka akan terbangun sejenak ketika ia
digigit nyamuk atau seperti yang digambarkan dalam surat Al baqarah ayat
19-21:
Yang Artinya:
“ Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai
gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya
karena mendengar petir, sebab takut akan mati. Dan allah meliputi orang-orang
kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali gelap
menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau allah menghendaki niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan
mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Pada dasarnya semua manusia mempunyai potensi baik dan lurus (hanif)
Sejak manusi masih berupa ruh tanpa jasad Allah telah mengajukan pertanyaan,
Apakah Allah Tuhan mereka atau bukan? Semua ruh menjawab: “Ya kami bersaksi
Engkau Tuhan kami ”. Inilah potensi yang
di telah diberikan allah kepada setiap manusia. Mereka pasti memiliki kesadaran
untuk tetap mengakui Tuhan.
Pada zaman dahulu kita mengenal ada yang namanya Fir’aun, dia adalah
seorang raja yang zalim yang mengaku
dirinya Tuhan dan dia baru mau mengakui adanya Tuhan ketika ajal merenggut nyawanya karena hendak tenggelam ke dalam
lautan , terlambat sudah pengakuannya sia-sia belaka.
Manusia memang mudah sekali lupa,
tetapi kematian adalah musibah yang tidak boleh dilupakan karena mati
tidak dapat dihindari oleh siapapun. Salah satu untuk mengingatkan kita selalu
ingat kepada kematian adalah dengan berziarah kubur, mengunjungi orang yang
sedang sakit. Rasulullah pernah ditanya
oleh sahabat, Siapakah orang yang paling pintar? Jawab Rasul: “Mereka yang
memperbanyak mengingat mati dan senantiasa siap menerima mati”.
Mengingat mati tentu saja tidak cukup dengan ucapan lisan saja, yang
lebih utama adalah menggerakkan hati agar selalu menyadari bahwa kematian sewaktu-waktu akan
menjemputnya. Kematian adalah suatu peristiwa yang membutuhkan persiapan yang
sangat banyak. Perlu juga direnungkan
bagaimana rasanya mati dikala dalam keadaan sakaratul maut.
Imam Al Ghazali dalam bukunya menjelaskan, tatkala ruh Nabi Musa
kembali kepada Allah SWT , Allah bertanya, “Wahai Musa bagaimana rasanya mati
itu?”. Musa menjawab : “Aku merasa diriku seperti burung digoreng di atas wajan,
tidak mati tetapi tidak lepas terbang”.
Dalam riwayat lain Musa Berkata:”Aku dapati diriku seperti kambing
dikupas kulitnya hidup-hidup oleh tukang jagal”.
Maut memang merupakan peristiwa yang pedih, karena ia memisahkan
manusia dengan segala yang dicintai dan yang mencintainya, akan tetapi orang
yang beriman akan justru merindukan kematian yang akan mengantarkannya untuk
bertemu dengan kekasih sejatinya yaitu Allah SWT. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang
rindu kematian. (Wallahu A’lam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar